AMAN dan Situasi masyarakat adat kabupaten Ende


Gambaran Umum Pandangan AMAN terkait keberadaan masyarakat hukum adat yang ada di
Flores khususnya kabupaten Ende.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah organisasi kemasyarakatan (ORMAS) independen yang anggotanya terdiri dari komunitas-komunitas Masyarakat Adat dari berbagai pelosok Nusantara.  Dan di AMAN Nusa bunga komunitas-komunitas adat yang tergabung di dalamnya merupakan bagian dari AMAN dengan misi dan tujuan yang sama dalam memajukan kehidupan masyarakat agar lebih baik..

AMAN secara Organisasi memperjuangkan dan mengatvokasikan berbagai permasalahan yang mengancam eksistensi Masyarakat Adat, mulai dari aspek seperti pelanggaran Hak Azasi Manusia, perampasan tanah adat, pelecehan budaya, berbagai kebijakan yang dengan sengaja meminggirkan Masyarakat Adat. Langkah yang ditempuh adalah mencari jalan keluarnya dan menyelesaikannya  selama keberadaan masyarakat adat masih berada di wilayah nusantara.

Salah satu dari jalan keluar tersebut adalah Masyarakat adat harus keluar dari aspek penindasan, dengan mulai membangun kehidupan baru yang berdaulad secara politik, Mandiri secara Ekonomi dan bermartaba secara budaya.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)  juga secara nasional telah menyatakan keberadaan Mayarakat Hukum adat jauh sebelum negara ini ada. Dengan mendefenisikan masyarakat hukum adat adalah  komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya[1]

Hal ini menunjukan kepada kita semua bahwa sesunggunya kehidupan masyarakat adat di Flores Nusa bunga khusunya di Ende jauh sebelum negara ini terbentuk.Komunitas-komunitas yang berada di kabupaten Ende adalah komunitas yang mempunyai sistem kearifan budaya dalam mengatur kehidupan anggota komunitasnya.

Telah sekian lama kehidupan masyarakat adat di pinggirkan bahkan akan dimusnahkan. Sejak terbentuknya negara masyarakat adat senusantara dihadapkan dengan berbagai masalah salah satunya masalah tapal batas atministrasi negara/pemerintah.[2]

Negara menciptakan aturan-aturan baru yang sesungguhnya lahir dari warisan penjajahan kolonial lewat ekspansi besar-besaran menguasa wilayah Indonesia dan seluruh isi kekayaan alamnya.Hadirnya negara juga membuka peluang untuk budaya-budaya asing menguasai dan menghapuskan budaya aslih sehingga yang dikenal sekarang ini adalah budaya asing, ketimbang budaya asli.

Dengan keberadaan hukum negara , maka terciptalah konflik di masyaerakat adat seperti konflik horisontal sesama komunitas adat kerena perebutan wilayah kekuasaan tanah dan konflik pembagian wilayah tanah dengan pemerintah. Akibat dengan kekuasaan negara yang kuat ditambah lagi alat negara yang juga kuat maka, posisi kehidupan masyarakat semakin di geserkan dan dipinggirkan. Posisi masyarakat adat hanyalah sebagai pelengkap dalam proses pembangunan wilayah di tanah milik komunitas masyarakat adat. [3]

Tokoh-tokoh adat di kampung di kibuli dengan budaya-budaya baru seperti menciptkan istilah-istilah baru yang meminggirkan kehidupan masyarakat adat. Sebutan istilah baru itu, dengan pernyataan, masyarakat adat adalah masyarakat tradisional,lokal,pinggiran,perambah, kolot, dan masyarakat perambah hutan dan penghalang pembangunan. Dengan adanya istilah-istilah itu maka, berubalah cara pandang seluruh kehidupan masyarakat adat dengan generasi baru saat ini. Takut dianggap kolot maka, pelahan-lahan meninggalkan budaya asli.

Padahal istilah-istilah baru itu sengaja diciptakan agar, ekspansi modal dalam bentuk penjajahan gaya baru  tidak di halangi untuk menguasai sumber kekayaan alam di bumi nusantara khusunya Flores. Sebab, kekuasaan modal besar dan penjajahan asing dalam bentuk menginginkan masyarakat adat dan seluruh kekuatan budayanya harus segerah hilang, jika masih ada maka, sulit bagi Asing menguasai kekayaan alam.

Jika ada suatu wilayah masih ada yang namanya masyarakat adat, maka berat bagi penguasa asing menguasai wilayah itu. Dasar utama menunjukan bahwa masyarakat adat  itu ada adalah Alam dan tanah  ulayat serta tempat larangan, dan kebudayaan setempat yang masih menyatukan kehidupan sosial masyarakat adatnya.

Tentu hal mendasar ini sangat mengganggu bagi kepentingan asing menguasai kekayaan Alam milik masyarakat adat. Dari gambaran ini menunjukan bahwa  kepentingan asing untuk menghancurkan sendi –sendi kehidupan masyarakat adat demi leluasa persebaran modal menjadi terhambat.

Padahal  ditelusuri secara mendalam semua produk pengetahuan dan nilai kehidupan manusia yang beradab berasal dari masyarakat adat dilihat dari pengertian masyarakat adat.

Semua produk hukum di negara ini belandaskan pada kehidupan masyarakat adat.Masyarakat adat mempunyai hukum yang diterapkan beribuan tahun, dan hukum itu masih diwarisi sampai dengan genarasi sekarang ini.

Gambaran ini agar menjadi pemicu untuk kembali merefleksikan cara pandang kita agar bisa mengenal jati diri kita, dan juga bisa mengetahui dari mana kehidupan kita berasal. Semua manusia yang berada di bumi Flores ini khususnya di ende mempunyai sejarah asal muasal dan juga mempunyai secara warisan leluhur untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat adat,.

Dengan demikian AMAN berpandang bahwa keberadaan masyarakat hukum adat di wilayah flores khusunya di ende, dapat merubah cara pandang kita semua agar bisa mengatur dan menjaga warisan leluhur bisa bertahan ribuan tahun lagi.

Ada empat warisan leluhur untuk membeda keberadaan masyarakat adat dan masyarakat sipil  lainnya adalah sebagai berikut :[4]
Pertama, Kelompok Orang dengan Identitas Budaya yang sama: bahasa, spritualitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku yang membedakan kelompok sosial yang satu dengan yang lain.
Kedua, Sistim Nilai dan Pengetahuan (kearifan) tradisional: bukan semata-mata untuk dilestarikan, tetapi juga untuk diperkaya/dikembangkan sesuai kebutuhan hidup berkelanjutan.
Ketiga,Wilayah hidup: tanah, hutan, laut dan SDA lainnya bukan semata-mata barang produksi (ekonomi), tetapi juga menyangkut sistem religi dan sosial-budaya.

Ke EmpatAturan dan tata kepengurusan hidup bersama (hukum adat dan lembaga adat) untuk mengatur dan mengurus diri sendiri sebagai suatu kelompok sosial, budaya, ekonomi dan politik
kekuatan masyarakat humum adat yang menyatakan bahwa masyarakat adat telah hidup jauh sebelum negra ini di bentuk bisa di lihat pada trasisi kehidupan masyarakat adat.

Kehidupan masyarakat adat sangat erat hubungannya antara sesama manusia, sengat erat hubungannya dengan sang pencipta atau leluhur dan sangat erat hubungannya dengan alam. Kesemuannya itu menciptkan kehdiupan masyarakat itu ada sepanjang tradisi dan kearifan itu ada.

Dalam undang-undang negara juga menyatakan bahwa mengakuai keberadaan masyarakat hukum adat, disamping itu juga ada turunan undang-undang lain seperti UU kehutan, UU agraria, UU desa, UU pertambangan dan otonomi daerah. Semuannya mencantum  keberadaan masyarakat adat, akan tetapi dalam mengimplementasi UU tersebut tidak mengakui keberadaan masyarakat adat. Diakui hanya sebatas memuluskan kepenting dan kekuasaan, selanjutnya mengakui dan melindungi keberadaan kehidupan masyarakat adat tidak dilakukan.[5]

Masyarakat adat tetap menjadi obyek untuk investasi pembangunan yang pada akhirnya merugikan masyarakat adat, mengapa dikatakan merugikan karena dalam proses pembangunan melibatkan tokoh adat  masyarakat adat hanyalah seremonial belaka, bukan dilibatkan secara penuh mulai dari perencanaan yang partisipatif sampai pada tindakan yang partisipatif dan demokratis.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Nusa bunga secara organisasi telah menyatakan dan telah membangun cara berpikir masyarakat adat secara keseluruhan bahwa sudah saatnya masyarakat adat bisa menentukan nasipnya sendiri, dan sudah saatnya masyarakat adat banting stir mempertahankan warisan leluhur dan tata aturan hukum yang berlaku dari jaman dahulu. Sebab warisan itulah yang bisa mengantakan kehidupan masyarakat adat yang damai adil dan merata.

Hukum adat warisan leluhur lebih banyak mempertimbangkan kehidupan manusia yang ada dikomunitasnya.Hakum adat di jalankan dilihat dari tradisi atau kebiasaan hidup masyarakat adat.
Mempertahankan budaya leluhur lebih bermartabat dibandingkan budaya baru saat ini, sebab budaya warisan leluhur mempunyai makna tujuan terkait dengan pola kehidupan masyararakat adat, antar lain mengenal sesama manusia, gotong-royong dan saling menolong sesama.  Warisan leluhur itulah yang bisa membedakan dengan warisan negara kepada rakyatnya.

Negara memarginalisasi masyarakat adat (ekonomi, sosial-politik, dan budaya) melalui Kebijakan, seperti: UU Desa, UU Kehutanan, UU Mineral dan Batubara, dll

Dalam banyak hal, negara dan masyarakat adat justeru hanya “bertemu” pada medan konflik.
Negara tidak hadir sebagai pembawa kesejahteraan tetapi justeru memunculkna dirinya sebagai predator (pemangsa)

Semua tanah dan sumber daya alam lainnya diasumsikan sebagai milik negara. Dengan asumsi tersebut maka kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam tidak diakui
Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak melibatkan masyarakat adat

Bagi masyarakat adat situasi demikian sangat sulit mereka percaya terutama karena dalam alam berpikir mereka negara itu lahir belakangan dan merupakan entitas yang lain dari mereka. Ini disebabkan karena secara sosiologis mereka sendiri telah mengembangkan satu sistem pemerintahan (negara) sendiri.

Kehadiran negara bagi sebagian besar masyarakat adat adalah ancaman bagi kelangsungan hidup merekaapalagi negara yang hadir itu kemudian tidak berhasil mensejahterakan rakyat.Malah dalam banyak peristiwa, negara hadir sebagai predator.

Pemetaan Konflik yang terjadi pada masyarakat adat di wilayah kabupaten Ende

Untuk di wilayah Flores Nusa bunga dan Ende pada khususnya, dari hasil riset lapangan oleh[6] Tim AMAN dan kader masyarakat adat menemukan beberapa permasalahan yang diciptakan oleh negara untuk menjadi pemicu konflik. Tim riset AMAN Nusa bunga membagi peran dan melakukan riset di tiga suku besar yang ada di kabupaten Ende  yaitu suku nage, suku lio dan suku Ende. Dari penggolongan suku ini, dilihat dari tinjauan Linguistik bahasa daerah di wilayah kabupaten Ende bahwa secara umum adat tiga bahasa yang digunakan yaitu bahasa Ende Lio, Ende, dan bahasan Nage/Ngao.

Hasil Riset Lapangan dengan mengambil sampel komunitas masyarakat adat di tiga suku besar dengan masing-masing sampel komunitas sebanyak  30 komunitas masyarakat adat antara lain :[7]

Tabel 01. Data komunitas masyarakat adat di wilayah kabupaten Ende dari tiga suku besar
No
Nama Komunitas Adat
Wilayah kecamatan
Posisi suku
Ket
1.       
Komunitas Kekajodho
Ende


2.       
Komunitas Nuabosi
Ende
Ende

3.       
Komunitas Tomberabu
Ende


4.       
Komunitas Tina bani
Ende


5.       
Komunitas Pemo/mbotutenda
Ende


6.       
Komunitas Nua Ja
Ende


7.       
Komunitas Wologai
Ende


8.       
Komunitas Boafeo
Maukaro


9.       
Komunitas Wolotopo
Ndona


10.   
Komunitas ondorea
Nangapanda
Nage

11.   
Komunitas numba/watumite
Nangapanda


12.   
Komunitas Asa/odja
Nangapanda


13.   
Komunitas mundinggasa
Maukaro


14.   
Komunitas suku Naya/kamubheka
Maukaro


15.   
Komunitas Saga
Detusoko


16.   
Komunitas bu’u Ngenda
Detusoko


17.   
Komunitas Mukureku
Lepembusu kelisoke
Lio

18.   
Komunitas Fata atu timur
Welamosa


19.   
Komunitas tiwu bhesa
Maurole


20.   
Komunitas wolomoni
Detusoko


21.   
Komunitas Ndito
Detusoko


22.   
Komunitas Ranga
Detusoko


23.   
Komunitas nduaria
Kelimutu


24.   
Komunitas Tenda
Wolojita


25.   
Komunitas Vendo
Lio timur


26.   





Batas wilayah suku besar yang ada di kabupaten Ende dilihat dari teritorial posisi penggunaan bahasa sehingga mengklasifikasikan kedalam teritorial wilayah suku yang terdiri dari Ende Lio, Ende,dan suku nage.

Suku Ende lio dari keadaan topografi membagi wilayah kabupaten untuk wilayah bagian timur, selatan,hingga utara sebagian dan untuk posisi wilayah Ende bagian tengah secara umum ditempatkan oleh Suku Ende, dan wilayah barat sampai seperempat bagian wilayah utara didiami suku Nage.  

Untuk data konflik komunitas adat yang ada di kabupaten Ende dari hasil riset dan wawancara langsung dengan tokoh adat dan pemuka adat di kampung menunjukan bahwa konflik berupa tapal batas wilayah administrasi pemerintah dan wilayah lahan garap atau pemukiman masyarakat adat di komunitasnya.

Disisi lain, masalah horizontal sesama komunitas adat dalam hal perebutan lahan garap, sesuai pembagian dan warisan leluhur mereka. Konflik antara masyarakat adat dan negara menurut informasi dan cerita tetua adat dikampung sudah sangat lamah, belum tau persis konflik itu muncul akan tetapi setiap tahun pemerintah mempunyai program yang namanya reboisasi hutan lindung dengan program tanam kayu. Masyarakat mengalami dampak dari konflik itu dengan mulai mematok dan mempersempit lahan garap,

Ada konflik terjadi akibat pemekaran wilayah kabupaten dan desa atau kecamatan, hal ini berdampak pada konflik perebutan wilayah adat,antara sesama masyarakat diadu Domba dengan kepentingan pemekaran wilayah administrasi pemerintah /negara. Dan jika konflik itu terjadi dan menimbulkan banyak perpecahan maka, posisi kekuasaan wilayah adat sudah perlahan-lahan di hilangkan, yang sebelumnya kepemilikan hak ulayat dengan masuknya pemekaran wilayah administrasi  negara pada akhirnya kepemilikan tanah menjadi hak individual.[8]
Tabel 02. Data Konflik yang ada dikomunitas masyarakat adat Kabupaten Ende [9]

No
Jenis Konflik
Tahun konflik
1.      
Tapal batas hutan dolo
Mulai dari tahun 1932-2015 sekarang ini
2.      
Penetapan tapal batas wilayah administrasi negara
Mulai dari tahun 1945-2015 sekarang ini
3.      
Pertambangan
Mulai dari 2012-2015
4.      
Konflik horizontal sesama komunitas adat
Tahun 1984 hingga sekarang.
5.      
Belum ada kejelasan wilayah adat

6.      
Konflik internal kelembagaan adat

7.      
Perselisihan kewenangan fungsionaris Adat

8.      
Hilangnya bukti peninggalan


Sejarah konflik masyarakat adat dengan negara sejak tahun 1932, dan menurut tokoh adat bahwa di tahun itu memang kalau dilihat masih di kuasai oleh pemerintah kolonial belanda namun karena masih masa penjajahan maka bentuk penguasaan wilayah pun polanya adalah penjajahan.

Penjajahan belanda datang masuk ke komunitas lewat tetua adat ataupun orang yang bisa berkomunikasi dengan pihak belanda, dan dari bentuk itu maka, banyak melahirkan kesepakan-kesepakan  dengan tokoh adat tentang penguasaan wilayah adat.  Dari sejarah itu sampai detik ini ada yang namanya hutan dolok dan hutan hak masyarakat adat dan juga di struktur kelembagaan adat juga ada yang sebut juru bicara ( atau dengan istilah Ria Bewa).

Di tahun ini juga masih gencar dengan perlawanan dan perluasan wilayah jajahan antara pemerintah hindia belanda dan pemerintah di tingkatan lokal, seperti perluasan daerah jajahan antara suku yang ada dikomunitas masyarakat adat, untuk mengetahui luas wilayah kekuasaan antara sesama suku.

Dari hasil riset lapangan oleh Tim AMAN wilayah Nusa Bunga  menemukan bentuk perluasan wilayah tanah dan perjuangan mendapatkan tanah yang saat ini menjadi hak ulayat  adalah bentuk peperangan antara komunitas adat dan juga perebutan wilayah jajahan, sehingga akhir dari perang itu muncul kesepakatan untuk membagi wilayah kekuasaan dengan batas wilayahnya.

Menurut sejarah dari setiap komunitas yang ada di kabupaten Ende bahwa wilayah tanah mereka dan kekuasaan mereka adalah tanah perjuangan dan juga tanah pemberian.Mengapa disebut tanah pemberian karena  membantu berperang  merebut wilayah kekuasaan. Mengapa disebut Tanah perjuangan karena untuk mendapatkan tanah sejengkal dengan pengorbanan dan darah dari para pejuang.

Sehingga sejarah di setiap komunitas terkait dengan tanah dan wilayah kekuasaan suku menjadi penentu dalam menentukan dasar dari pembangunan dari suatu wilayah itu.
Pemetaan situs budaya Masyarakat adat

Komunitas Masyarakat adat di kabupaten Ende, Umumnya masih memiliki situs-situs budaya warisan leluhur mereka. Situs budaya ataupun alat kelengkapan adat sampai saat ini masih di pelihara dan jaga oleh tokoh adat dan seluruh anggota komunitasnya. Dari hasil pendataan Tim AMAN menemukan masih sebagian besar terjaga dan dipelihara dengan baik oleh tokoh adat dan seluruh wai walu ana kalo( Anggota Masyarakat Adat ).

Alasan menjaga dan melestarikan situs budaya ini, umumnya untuk membuktikan bahwa lingkungan setempat ataupun kampung halaman mereka adalah bagian dari adat istiadat. Selanjutnya menjaga situs budaya dari tradisi kehidupan masyarakat adat merupakan salah satu filosofi tersendiri untuk menunjukan bahwa masyarakat itu ada dan akan terus ada sesuai dengan bukti-bukti peninggalan leluhur mereka, dan juga akan memberikan pandangan terkait dengan kehidupan masyarakat adat. 

Dari simbol-simbol adat merupakan kekuatan bagi kehidupan sosial masyarakat adat yang mempunyai nilai tersendiri bagi kehidupan generasi penerusnya untuk tidak melupakan asal muasal dan selalu melestarikan dan di kembangkan sesuai warisan itu.

Tabel 03.  Data peninggalan situs budaya di komunitas masyarakat adat
No
Nama situs dan simbol kebudayaan
1.
Rumah adat/keda
2.
Tubu musu ora nata
3.
Gong dan lamba
4.
Pakayan adat
5
Pedang
6
Kuburan leluhur sebagai tempat ritual
7.
Sa’o ria
8
Kuwu ria
9
Kanga
10
Tubu
11
Lodo nda
12
Wula leja
13
Potu ria panggo bewa ( markas )

Tabel 04. Data kesenian musik dan tarian Masyarakat adat
No
Nama Alat Musik
Nama Tarian
Ket
1.
Gong Lamba
Wanda pau

2.
Suling/veko dan genda
gawi

3.
Ekuilele
woge

9.     
Geko
Naro

6




Pemetaan sistem pengelolaam Hak atas Tanah adat
            Dari data lapangan sesuai dengan tata aturan hukum yang berlaku disetiap komunitas adat merupakan tata aturan dari warisan leluhur. Atauran adat tentang pengelolaan potensi sumber daya Alam disesuaikan dengan kemampuan dan kearifan adat setempat. Secara umum pengelolaan hak atas tanah adat/ tanah ulayat sampai saat ini masih di ataur oleh tokoh adat/ mosalaki setempat. Sistem pengelolaan  tanah di bagi menjadi dua bagian yang terdiri dari tanah kuasa individu dan tanah dikuasai secara ulayat. Kuasa individu artinya tanah dengan hasil komoditasnya menjadi hak milik akan tetapi berkewajiban menjalankan ritual adat. Hak ulayat artinya tanah dengan posisi lahan tanah yang masih kosong, sistem pembagiannya lewat proses musyawara adat, tokoh adat menentukan dan membagi lahan garap di tanah yang dianggap masih kosong.

Sistem Pengaturan lahan/Tata guna lahan
Sistem pengaturan lahan/tata guna lahan versi komunitas :
  1. Tanah Produksi yang di isi dengan hasil pertanian dan perkebuananTanah ini dibagi sesuai dengan semampuh anggota komunitas adat bekerja. Dan sisitem pembagiannya dilihat dengan lahan bekasan warisan pendahulu. Dan luas lahan dan hasil diatas tanah menjadi milik individu sedangkan tanah tetap menjadi milik hak ulayat yang di atur oleh mosalaki atau tokoh adat.
  2. Tanah dibagi menjadi lahan untuk tanaman komoditi dan lahan untuk tanaman pangan atau ladang. '
  3. lahan yang kosong masih dikusai oleh tokoh adat, dan pada saat tertentu akan di kelola sesuai kesepakatan bersama dan mengikuti seluruh retual adat di tanah ini.

Agama/Kepercayaan asli komunitas

Kepercayaan asli sesuai warisan adalah kepercayaan kepada animisme dan dinamisme, dan sesuai penyebarannya adalah kepercayaan kepada ajaran Agama Khatolik,cara-cara berhubungan dengan sang pencipta dari agama atau
kepercayaan asli tersebut :
  1. Untuk kepercayaan asli sesuai warisan leluhur berhubungannya langsung kepada Alam, lewat upacara Ritual adat dan mempercaya kepada tempat-tempat sakral atau pohon besar atau batu.
  2. Kepacayaan ajaran Agama katolik dengan melakukan berdoa dan perenungan secara perindividu maupun perenungan secara kelompok/ orang banyak. Jikaulah untuk orang banyak biasanya dilakukan di tempat berdao yaitu di Rumah tuhan yang disebut Gereja. 

Tujuan Pembuatan Perda Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat DiKabupaten Ende

Gambaran Umum
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.Keberadaan kelompok-kelompok masyarakat adat di Kabupaten Ende, sebagaimana juga merupakan realitas sosiologis dan antropologis di sebagian besar wilayah Nusantara (Indonesia) adalah fakta yang tidak terbantahkan.Di Kabupaten Ende, keberadaan kelompok masyarakat adat ini dapat dilihat pada keberadaan suku yang ada di Kabupaten Ende.

Keberadaan sub-sub suku Ende, Lio dan Nage di Kabupaten Ende yang digabungkan dengan
kenyataan serupa di wilayah yang lain merupakan sumber dari kekayaan budaya Indonesia,
yaitu paduan dari seluruh kekayaan di tingkat komunitas yang potensial sebagai modal dasar perkembangan kebudayaan nasional Indonesia di segala bidang kehidupan. Konsep konsep pemerintahan asli di Ende, kearifan lokal dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam, dan tradisi-tradisi yang berkembang, disadari ataupun tidak telah memberikan sumbangan yang cukup besar pada perkembangan sosial, politik, ekonomi dan hukum di Indonesia.Bahkan para pendiri negara bangsa Indonesia telah menyadari realitas tersebut di atas sebagai landasan bagi pembangunan bangsa Indonesia.

Atas dasar itulah mereka merumuskan bahwa negara Indonesia terdiri dari Zelfbesturende landschappen danVolksgemeenschappen di dalam UUD 1945 (sebelum amandemen).Langkah ini mempunyai dua sisi implikasi.Pertama dengan menyerap kekhasan yang ada pada masyarakat adat, maka negara Indonesia yang dibentuk berupaya menciptakan satu bangsa. Kedua, pengabaian terhadap eksistensi masyarakar adat tersebut akan berimplikasi pada kegagalan cita-cita membangun satu bangsa Indonesia.

Namun cita-cita para pendiri negara bangsa Indonesia tersebut di atas, di mana masyarakat adat diletakkan sebagai kelompok masyarakat yang menjadi fondasi dari pembangunan ternyata tidak berjalan mulus.Sejarah pembangunan bangsa ternyata tidak serta merta mendatangkan kesejahteraan pada masyarakat adat.Orientasi pembangunan negara yang berubah telah menjadi salah satu sebab dari semakin miskinnya masyarakat adat.Hal ini disebabkan karena tanah, wilayah adat dan sumber daya alam tidak lagi berada dalam kontrol masyarakat adat yang bersangkutan, tetapi berada pada kekuasaan yang pada prakteknya lebih mementingkan pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada sektor swasta yang bermodal besar.

Puluhan peraturan perundang-undangan bahkan sengaja dibuat untuk memuluskan investasi di wilayah adat yang banyak diantaranya tidak saja berbuah pada kemiskinan tetapi juga pada tindakan-tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia masyarakat adat.Kekuasaan modal yang mencengkeram pemerintahan negara mulai dari pusat sampai tingkat kabupaten terjadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk di Kabupaten Ende.

Di Kabupaten Ende, luas kawasan yang telah mengeluarkan ijin pertambangan terdiri dari 19 IUP yakni Pasir Besi, mangan Besi, Emas, Batubara dan lain sebagainya secara sepihak pemerintah melalui dinas kehutanan mengambil hak-hak masyarakat adat yakni hutan dan lahan garap masyarakat adat serta situs-situs budaya sebagai ahli waris dari leluhur dengan tidak mempertimbangkan dampak yang terjadi pada masyarakat adat sebagai penyanggah daerah hutan.

Pengambilan hutan serta daerah pesisir sebagai langkah mulus pemerintah mengeluarkan ijin kepada para investor Juga ada sejumlah wilayah yang telah ditetapkan menjadi hutan lindung dan taman nasional. Sementara sebagian besar dari keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut di atas bersinggungan dengan hak-hak masyarakat adat Ende atas tanah, wilayah adat dan juga sumber daya alam.

Dalam banyak kasus, masyarakat adat di Kabupaten Ende yang memanfaatkan kawasan hutan tidak jarang dituding sebagai kriminal dan didakwa di Pengadilan Negeri Ende dimana sebagian besar putusannya tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat adat di Ende sebagai pencari keadilan. Dengan alasan penegakan hukum, aparat kepolisian dalam banyak kasus langsung membawa masyarakat adat yang masuk ke kawasan hutan untuk mengambil kayu ke proses peradilan. Sementara di Pengadilan, hukum adat, terutama berkaitan dengan sejarah penguasaan masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam sangat jarang dipertimbangkan dalam putusan hakim.

Dengan kenyataan demikian, tidaklah mengherankan jika masyarakat adat di Kabupaten Ende juga tidak dapat berbuat banyak dalam rangka meningkatkan kesejahteraan mereka.Ini disebabkan karena pemerintah telah memberikan ijin pengusahaan sebagian besar sumber daya alam (hutan, tanah, dan sebagainya) kepada pihak swasta.Padahal dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional, hak-hak masyarakat adat telah diakui, bahkan pada tingkatan konstitusi.Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ego sektoral dalam pengelolaan sumber daya alam adalah cirri khas dari manajemen sumber daya alam di Indonesia, dan kenyataan itu juga terjadi di Kabupaten Ende.Hal ini menyebabkan tidak adanya sinergi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam sehingga hak-hak masyarakat adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan tersebut tidak dapat dijalankan.

Dengan begitu banyaknya hak-hak masyarakat adat yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, maka Peraturan Daerah ini tidak dimaksudkan
untuk membuat semacam “hak baru”. Peraturan Daerah ini lebih ditujukkan untuk “menyatakan dan memperjelas” hak-hak masyarakat adat yang sudah ada dalam berbagai
peraturan perundang-undangan sehingga dapat dilaksanakan di tingkat Kabupaten Ende.

Adapun beberapa “hak baru” terdapat dalam Peraturan Daerah ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan keberadaan hak-hak, baik hak masyarakat adat maupun hak negara yang sudah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Hak baru ini muncul untuk merespon konteks lokal Kabupaten Ende serta mengantisipasi perkembangan di masa depan, dan juga untuk menterjemahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang seharusnya dirujuk dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum
a.       Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende adalah salah satu langkah politik hukum penting yang harus diambil dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan dalam rangka pemenuhan Hak Asasi Manusia serta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Negara sebagaimana tercantum dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang;
b.      bahwa setiap orang dalam masyarakat adat di Kabupaten Ende diakui, tanpa perbedaan, dalam semua hak-hak asasi manusia yang diakui dalam hukum internasional dan nasional, dan bahwa mereka memiliki hak-hak kolektif yang sangat diperlukan untuk pengembangan kehidupan dan keberadaan mereka secara utuh sebagai satu kelompok masyarakat;
c.       bahwa masyarakat adat di Kabupaten Ende telah mengalami penderitaan dari sejarah ketidakadilan sebagai akibat dari, antara lain, pemaksaan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka dan pengambilalihan hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, sehingga menghalangi mereka untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat sebagai bagian dari bangsa Indonesia;
d.      bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende merupakan kebutuhan yang mendesak sehingga mereka dapat menikmati hak-hak mereka yang melekat dan bersumber pada sistem politik, ekonomi, struktur sosial dan budaya mereka, tradisi-tradisi keagamaan, sejarah-sejarah dan pandangan hidup, khususnya hak-hak mereka atas tanah, wilayah dan sumber daya alam;
e.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan dan huruf e maka diperlukan penyusunan satu Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Kabupaten Ende.

Tinjauan Hukum
a.       Pasal 18B Ayat (2), Pasal 28I Ayat (3), Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
b.      TAP MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam;
c.       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 78, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
d.      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
e.       Undang-Udang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 Nomor 35);
f.       Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Mengenai Keanekaragaman Hayati (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 41);
g.      Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);
h.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);
i.        Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
j.        Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten .............., Kabupaten .............., Kabupaten ................, Kabupaten .............. dan ................... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 175, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3896); sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3962); 11. Undang-Undang………
k.      Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32);
l.        Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389 Tahun 2004);
m.    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 85);
n.      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
o.      Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
p.      Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);
q.      Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
r.        Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 Nomor 140);
s.       Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
t.        Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741).

Ketentuan Umum

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1.      Daerah adalah Daerah otonom Kabupaten Ende.
2.      Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3.      Bupati adalah Bupati Kabupaten Ende.
4.      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
5.      Pengadilan adalah badan yang melakukan peradilan yang kewenangannya meliputi: memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
6.      Masyarakat adat di Kabupaten Ende adalah kelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Kabupaten Ende yang memiliki ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada umumnya.
7.      Identifikasi masyarakat adat adalah proses penentuan keberadaan masyarakat adat yang  dilakukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan dengan mengacu pada unsur-unsur keberadaan masyarakat adat.
8.      Pengakuan adalah pernyataan tertulis maupun tidak tertulis atas keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya yang diberikan oleh negara dan pihak-pihak lain diluar negara.
9.      Perlindungan adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib diberikan oleh negara kepada masyarakat adat dalam rangka menjamin terpenuhi hak-haknya, agar dapat hidup tumbuh dan berkembang sebagai satu kelompok masyarakat, berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi.
10.  Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat adat.
11.  Lembaga adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan sejarah suatu masyarakat adat untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan sesuai dengan hukum adat yang berlaku.
12.  Hak-Hak masyarakat adat adalah hak komunal atau perseorangan yang bersifat asal usul yang melekat pada masyarakat adat, yang bersumber sistem sosial dan budaya mereka, khususnya hak-hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam.
13.  Wilayah adat adalah satu kesatuan geografis dan sosial yang secara turun temurun didiami dan dikelola oleh masyarakat adat sebagai penyangga kehidupan mereka yang diwarisi dari leluhurnya atau diperoleh melalui kesepakatan dengan masyarakat adat lainnya.
14.  Pemetaan wilayah adat adalah satu proses menterjemahkan bentang alam kedalam bentuk kartografi berdasarkan pada sejarah asal usul dan tata kelola suatu wilayah adat sesuai dengan sistem pengetahuan dan praktek-praktek yang berlaku di dalam masyarakat adat yang bersangkutan.
15.  Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan, nilai-nilai, pandangan-padangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang hidup dan berkembang dalam satu komunitas masyarakat adat dan diikuti oleh anggota masyarakat adat yang bersangkutan.
16.  Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
17.  Penyelesaian Sengketa Alternatif (Alternative Dispute Resolution) adalah suatu proses menyelesaikan perbedaan bentuk-bentuk kegiatan Badan Penyelesaian Sengketa Adat atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
18.  Perwakilan masyarakat adat adalah lembaga dan/atau orang atau sekumpulan orang yang merupakan utusan masyarakat adat dalam berbagai forum pengambilan keputusan maupun forum-forum penyelesaian sengketa.
19.  Verifikasi adalah suatu proses penilaian terhadap hasil identifikasi keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya.
20.  Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat adalah badan yang dibentuk untuk menjalankan urusan adat secara independen.
21.  Badan Penyelesaian Sengketa Adat adalah sebuah badan dibentuk untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari proses identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya, serta sengketa yang timbul dari pelanggaran atas hakhak masyarakat adat oleh pihak lain.

Asas, Tujuan Dan Ruang Lingkup

Asas
Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. Hak Asasi Manusia;
b. Keadilan;
c. Partisipasi;
d. Transparansi;
e. Kesetaraan dan Non-diskriminasi;
f. Keberlanjutan Lingkungan.

Tujuan
Pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende bertujuan
untuk:
a.       Menjamin terlaksananya penghormatan oleh semua pihak terhadap keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya yang telah diakui dan dilindungi secara hukum;
b.      Menyediakan dasar hukum bagi pemerintah daerah Kabupaten Ende dalam memberikan layanan dalam rangka pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten;
c.       Memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat agar dapat hidup aman, tumbuh dan berkembang sebagai kelompok masyarakat sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi;
d.      Memberikan kepastian adanya perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan program pembangunan;
e.       Menyediakan dasar hukum bagi penyelesaian sengketa hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Ende;
f.       Memberikan kepastian terlaksananya tanggungjawab Pemerintah Kabupaten Ende dibidang penghormatan, pemenuhan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-haknya.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup peraturan daerah ini mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan kedudukan masyarakat adat, hak-hak masyarakat adat, kelembagaan yang mengurusi masyarakat adat, proses dan bentuk pengakuan hukum, penyelesaian sengketa dan tanggungjawab pemerintah daerah dalam wilayah Kabupaten Ende, serta kelembagaan independen yang mengatur tentang kehidupan masyarakat adat.

Kedudukan Masyarakat Adat
1.      Masyarakat Adat di Kabupaten Ende berkedudukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak yang melekat dan bersifat asal-usul.
2.      Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masyarakat adat di Kabupaten Ende memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum berkaitan dengan hak-hak mereka, termasuk hak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di dalam wilayah adatnya.
Dalam kedudukannya sebagai subjek hukum, masyarakat adat di Kabupaten Ende
berhak untuk:
4.      mengatur kehidupan bersama diantara sesama warga masyarakat adat dan antara masyarakat adat dengan lingkungannya;
5.      mengurus kehidupan bersama masyarakat adat berdasarkan hukum adat yang diselenggarakan oleh lembaga adat;
6.      mengelola dan mendistribusikan sumber daya diantara warga masyarakat adat dengan memperhatikan keseimbangan fungsi dan menjamin kesetaraan bagi penerima manfaat;
7.      menyelenggarakan kebiasaan-kebiasaan yang khas, spiritualitas, tradisi-tradisi, dan sistem peradilan adat.
Hak-Hak Masyarakat Adat
A.    Hak atas Tanah, Wilayah dan Sumber Daya Alam
1.      Masyarakat adat berhak atas tanah-tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan/atau diperoleh melalui mekanisme yang lain.
2.      Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup segala sesuatu baik yang dipermukaan maupun terkandung di dalam tanah.
3.      Hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengendalikan atas dasar kepemilikan turun temurun dan/atau cara-cara yang lain.
4.      Hak atas tanah dapat bersifat komunal/kolektif dan/atau bersifat perseorangan sesuai dengan hukum adat yang berlaku setempat.
5.      Hak atas tanah yang bersifat komunal/kolektif tidak dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
6.      Hak atas tanah yang dimiliki secara perseorangan hanya dapat dipindahtangankan sesuai dengan persyaratan dan proses yang ditentukan hukum adat.
7.      Pemanfaatan tanah yang bersifat komunal/kolektif dan tanah perseorangan didalam wilayah adat oleh pihak lain hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan bersama berdasarkan hukum adat.
8.      Pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang dimiliki dan/atau dikuasai masyarakat adat didasarkan pada kearifan lokal.
9.      Masyarakat adat berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi yang layak dan adil atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki secara turun temurun, yang diambil alih, dikuasai, digunakan atau dirusak oleh pihak manapun.

B.     Hak Atas Pembangunan
1.      Masyarakat adat berhak menentukan dan mengembangkan sendiri bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaannya.
2.      Jika pemerintah dan/atau pemerintah daerah atau pihak-pihak lain di luar pemerintah akan melaksanakan atau merencanakan pelaksanaan satu program pembangunan di wilayah-wilayah adat, terlebih dahulu harus memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat adat di mana rencana program pembangunan tersebut akan dilaksanakan.
3.      Informasi yang dimaksud dalam ayat (2) berisikan segala sesuatu keterangan yang terkait dengan program serta dampak dan potensi dampak pembangunan tersebut.
4.      Berdasarkan informasi yang diterima, masyarakat adat berhak untuk menolak menerima atau mengusulkan bentuk pembangunan yang lain yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhannya.
C.    Hak atas Spiritualitas dan Kebudayaan
1.      Masyarakat adat berhak menganut dan mempraktekkan kepercayaan, upacara-upacara ritual yang diwarisi dari leluhurnya.
2.      Masyarakat adat berhak untuk mengembangkan tradisi, adat istiadat yang meliputi hak untuk mempertahankan, melindungi dan mengembangkan wujud kebudayaannya dimasa lalu, sekarang dan yang akan datang.
3.      Masyarakat adat berhak menjaga, mengendalikan, melindungi, mengembangkan dan mempraktekan pengetahuan tradisional dan kekayaan intelektualnya.
D.    Hak atas Lingkungan Hidup
1.      Masyarakat adat berhak atas lingkungan hidup yang sehat.
2.      Dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masyarakat adat berhak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses atas informasi, dan partisipasi yang luas dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
3.      Masyarakat adat berhak atas pemulihan dan perlindungan atas lingkungan hidup yang mengalami kerusakan di wilayah adat.
4.      Pemulihan lingkungan hidup yang rusak di wilayah adat dilakukan dengan memperhatikan usulan kegiatan pemulihan lingkungan yang diajukkan oleh masyarakat adat yang terkena dampak termasuk di dalamnya adalah mempertimbangkan tatacara pemulihan lingkungan hidup berdasarkan kearifan lokal mereka
E.     Hak Untuk Mengurus Diri Sendiri
1.      Masyarakat adat berhak untuk mengurus diri sendiri secara sewadaya, melalui kelembagaan adat yang sudah ada secara turun temurun dan lembaga-lembaga baru yang disepakati pembentukannya secara bersama untuk menangani urusan internal/lokal didalam masyarakat adat dan urusan-urusan eksternal yang berhubungan dengan keberadaan masyarakat adat dan hak-haknya.
2.      Hak untuk mengurus diri sendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan hak yang harus ada pada masyarakat adat sebagai prasyarat dari pelaksanaan hak-hak bawaan mereka.
3.      Dalam rangka menjalankan hak untuk mengurus diri sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat adat berhak mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah, baik dukungan pendanaan maupun dukungan sarana prasarana lain yang diperlukan.
F.     Hak untuk menjalankan hukum dan peradilan adat
Masyarakat adat berhak untuk menjalankan hukum adatnya.Dalam hal terjadi pelanggaran atas hukum adat, masyarakat adat berhak untuk menyelesaikan melalui sistem peradilan adat.
G.    Kelembagaan
Pemerintah Daerah membentuk Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat yang memiliki
tugas pokok dan fungsi :
a.       Memastikan berlangsungnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat sesuai prosedur yang diatur dalam Perda ini.
b.      Menerima pendaftaran dan melakukan verifikasi terhadap keberadaan masyarakat adat.
c.       Menyalurkan aspirasi masyarakat adat kepada pemerintah kabupaten dalam setiap perencanaan, pengelolaan dan pengawasan program pembangunan guna memastikan
d.      ketersediaan anggaran serta perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
e.       Pembentukan Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Bupati.
f.       Keanggotaan Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat diantaranya terdiri: perwakilan pemerintah kabupaten, perwakilan DPRD Kabupaten, perwakilan masyarakat adat, akademisi, perwakilan organisasi keagamaan dan perwakilan non pemerintah.

Proses Dan Bentuk Pengakuan Hukum
Proses Pengakuan Hukum

1.      Pengakuan hukum terhadap masyarakat adat dimulai dengan proses identifikasi yangdilakukan oleh masyarakat adat yang bersangkutan dan dapat dibantu oleh pihak lain.
2.      Indentifikasi yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :sejarah masyarakat adat, wilayah adat, norma-norma adat, kelembagaan/sistempemerintahan adat dan hak-hak adat.
3.      Bagi masyarakat adat yang melakukan identifikasi sendiri akan diwajibkan mengisiformulir yang disediakan oleh Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat dan disertaidengan dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan.
4.      Bagi pihak lain yang membantu melakukan identifikasi keberadaan masyarakat adatdiwajibkan mengisi formulir yang disediakan oleh Badan Pengelola Urusan
5.      Masyarakat Adat dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung.
(1)   Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat melakukan verifikasi terhadap hasil identifikasi.
(2)   Dalam kewenangannya untuk melaksanakan verifikasi, Badan Pengelola Urusan
6.      Masyarakat Adat harus memberikan kesempatan kepada masyarakat adat yangberbatasan untuk mengajukan pendapat.
7.      Pendapat hanya dapat dilakukan selambat-lambatanya 90 hari setelah hasil identifikasi diberitahukan dan/atau diumumkan.
Terhadap pendapat yang berisi keberatan yang diajukan oleh masyarakat adat yang
berbatasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3), Badan Pengelola Urusan
Masyarakat Adat harus melakukan :
1.      Pemeriksaan dokumen keberatan.
2.      Pemeriksaan terhadap pihak pengaju keberatan dan pemohon identiifkasi.
3.      Permintaan pendapat pihak-pihak yang dipandang memiliki pengetahuan yang cukup terkait dengan materi/isi keberatan.
4.      Pengambilan keputusan.
5.      Putusan Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat dapat menerima atau menolak keberatan yang diajukan.
6.      Jika materi keberatan yang diajukan diterima, Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat memerintahkan untuk melakukan identifikasi ulang.
7.      Jika materi keberatan yang diajukan ditolak, Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat meneruskan hasil verifikasi kepada Bupati untuk disahkan.

Jika dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari tidak terdapat keberatan dari masyarakat adat
yang berbatasan, Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat langsung mengajukan hasil
verifikasi kepada Bupati untuk mendapatkan pengesahan.

Bentuk Pengesahan
Bupati wajib menerbitan surat pengesahan terhadap masyarakat adat yang telah lolos
verifikasi.

Tanggungjawab Pemerintah Daerah
1.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dukungan fasilitas, sarana danprasarana serta pendanaan bagi Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
2.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan Pusat Informasi dan kepustakaantentang masyarakat adat, lembaga adat, norma-norma adat dan informasi lain yang terkait dengan masyarakat adat.
3.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab memastikan partisipasi penuh dan efekti masyarakat adat dalam pembahasan-pembahasan kebijakan dan perencanaan program pembangunan khususnya yang akan dilaksanakan di wilayah-wilayah adat.
4.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mencegah setiap tindakan siapapun yang mengakibatkan langsung atau tidak langsung hilangnya keutuhan dan keberagaman masyarakat adat.
5.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mencegah setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akan berakibat pada tercerabutnya masyarakat adat dari tanah, wilayah atau sumber daya alam.
6.      Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan kebijakan yang sepadan dengan keberadaan (eksistensi) masyarakat adat dengan seluruh hak dan identitasnya.
7.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mencegah setiap bentuk pemindahan masyarakat adat yang mempunyai tujuan atau akan berakibat pada dilanggar atau dikuranginya hak-hak masyarakat adat.
8.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberikan pendampingan kepada masyarakat adat yang sedang memperjuangkan hak-haknya yang diakui dalam dan melalui Peraturan Daerah ini.
9.      Dalam menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan lembaga bantuan hukum dan/atau organisasi masyarakat yang memiliki kapasitas melakukan pembelaan terhadap masyarakat adat. Pemerintah Daerah bertanggung jawab bersama-sama dengan masyarakat adat untuk memastikan bahwa perempuan dan anak-anak menikmati perlindungan penuh dan jaminan melawan segala bentuk pelanggaran dan diskriminasi.
Tanggung jawab pemerintah daerah.

1.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memastikan agar semua pihak yangterlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan menghormatikeberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya.
2.      Pemerintah Daerah wajib mengkonsultasikan setiap peraturan yang akan diterbitkanyang diduga akan berpengaruh terhadap masyarakat adat.
3.      Pemerintah Daerah wajib bekerja sama dengan masyarakat adat bila akanmelaksanakan tindakan administratif yang akan berpengaruh terhadap masyarakatadat.
4.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan dan melaksanakan program program dengan anggaran yang cukup untuk memberikan pelayanan yang efektif kepada masyarakat adat.
5.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk memfasilitasi pemetaan wilayah-wilayahadat, dan memastikan bahwa peta-peta wilayah adat tersebut menjadi rujukan dalampenyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK)
6.       Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran yang cukup dalamupaya peningkatan kapasitas masyarakat adat untuk berpartisipasi secara penuh danefektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) baik melalui organisasi maupunperwakilan secara langsung.
7.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan dan melaksanakan programpendidikan yang khusus dengan mempertimbangkan kekhasan budaya danmenggunakan bahasa masyarakat adat sendiri.
8.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengembangkan dan melaksanakan programpelayanan kesehatan yang khusus yang sesuai dengan kondisi geografis, sosial budayadan ekonomi masyarakat adat.
9.      Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan pemulihan melalui mekanismeyang efektif termasuk restitusi dan kompensasi atas kerugian yang dialami olehmasyarakat adat sebagai akibat dari pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adatatas tanah dan sumber daya alamnya.
Penyelesaian Sengketa
1.      Dalam rangka penyelesaian sengketa berkaitan dengan pelanggaran hak-hakmasyarakat adat yang diakui dalam dan melalui Peraturan Daerah ini, Pemerinta Daerah membentuk satu Badan Penyelesaian Sengketa Adat yang ditetapkan melaluiKeputusan Bupati.
2.      Badan Penyelesaian Sengketa Adat yang dimaksud dalam ayat (1) bersifat tetap(permanen).Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Adat berjumlah sedikitnya 5 (lima) orang dansebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, yang berisikan unsur-unsur:
a.       Perwakilan pemerintah kabupaten;
b.      Perwakilan DPRD Kabupaten;
c.       Perwakilan masyarakat adat;
d.      Akademisi;
e.       Lembaga Keagamaan, dan
f.       Organisasi non pemerintah.
3.       Keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Adat dipilih untuk jangka waktu 3 (tiga)tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa kepengurusan berikutnya.Sengketa yang diperiksa oleh Badan Penyelesaian Sengketa Adat sebagaimana dimaksuddalam Pasal 29 adalah sengketa yang timbul dari pelanggaran hak-hak masyarakat adatyang diatur dalam dan melalui Peraturan Daerah ini.Dalam penyelesaian sengketa hak-hak masyarakat adat yang diatur dalam dan melaluiPeraturan Daerah ini, Badan Penyelesaian Sengketa Adat berwenang untuk:
a.       Menerima laporan pelanggaran hak-hak masyarakat adat;
b.      Memeriksa laporan dan dokumen lain yang diajukan pelapor;
c.       Memanggil dan memeriksa para pihak;
d.      Mememinta keterangan dari pihak yang dipandang mengetahui masalah yang sedangdiperiksa;
e.       Memutuskan sengketa pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
4.      Dalam memeriksa dan memutuskan sengketa pelanggaran hak-hak masyarakat adatoleh pihak lain, Badan Penyelesaian Sengketa Adat wajib menggunakan hukum adat.
5.      Jika sengketa terjadi antar masyarakat adat, pilihan hukum adat yang digunakan dalammemeriksa dan memutus diserahkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.
6.      Jika tidak terdapatkan kesepakatan untuk menggunakan hukum adat yang akandiberlakukan dan sengketa tersebut harus diselesaikan segera, maka BadanPenyelesaian Sengketa Adat wajib merujuk penyelesaian ke peradilan umum.
PELAKSANAAN SEGERA TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH
1.      Bupati membentuk Badan Pengelola Urusan Masyarakat Adat selambat-lambatnya 6
(enam) bulan setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.
2.      Bupati membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Adat selambat-lambatnya 1 (satu)tahun setelah Peraturan Daerah ini ditetapkan.
3.      Pemerintah Daerah melakukan sinkronisasi terhadap seluruh peraturan di KabupatenEnde selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah Peraturan daerah ini ditetapkansupaya selaras dengan Peraturan Daerah ini.
KETENTUAN PENUTUP

Hal – hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini, diatur lebih lanjut denganPeraturan Bupati.Peraturan Daerah ini mulai berlaku mulai pada tanggal diundangkan.Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah inidengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Ende.



[1]              Pengertian sesuai dengan keputusan kongres AMAN  pertama pada tahun 1999.
[2]              pandangan AMAN untuk menilai posisi masyarakat adat.  
[3]              Hasil diskusi Tim AMAN nusa bunga dalam menilai keterjajahan posisi masyarakat adat
[4]              Empat pernyataan menurut klasifikasi FPIC dalam penyajian Erasmusyadi
[5]              Pernyataan melalui tinjauan yuridis
[7]              Data Hasil Riset Tim AMAN nusa Bunga
[8]              Hasil diskusi dengan tokoh adat Nua Ja Bapak Agustinus Wawo
[9]              Data Tim Riset AMAN Nusa Bunga


oleh: Jhuan
Share on Google Plus

About amannusabunga.blogspot.com

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: