Aksi HIMAS Nusa bunga |
Ende,
12 Agustus 2015- Aliansi masyarakat adat Nusantara wilayah nusa bunga bersama puluhan komunitas adat turun
kejalan untuk merayahkan hari Internasional masyarakat adat yang jatuh pada 09
agustus 2015. Ikut terlibat dalam aksi
ini terdiri dari utusan komunitas adat dari PD Flores Bagian Barat, komunitas
adat dari PD Flores tengah dan utusan komunitas adat dari PD Flores bagian Timur yang ada di wilayah Nusa bunga.
Aksi Masa masyarakat adat di nusa bunga
berpusat di kabupaten Ende dengan tuntutan meminta Pemerintah daerah kabupaten
Ende dan DPRD Ende untuk melanjutkan Pernyataan Sikap kepada DPR RI dan
Presiden Jokowi terkait dengan Satuan Tugas Khusus Masyarakat Adat ( SATGAS)
dan Rancangan Perundang-undangan Pengakuan dan Pelindungan Hak-hak Masyarakat
adat (RUU PPHMA).
Masa aksi bergerak mulai dari Kantor AMAN
nusa Bunga jalan Nuamuri menuju Kantor bupati Ende dan DPRD Ende.
“ Hari ini kami bersama komunitas adat yang
ada di wilayah nusa bunga propinsi NTT merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat,
Oleh karena itu dengan momentum ini kami
melakukan aksi masa dengan turun kejalan untuk menyatakan persoalan yang tengah
dihadapi oleh masyarakat adat,” Jelas Daut P Tambo Koordinator Lapangan AMAN
nusa Bunga.
Dikatakannya
bahwa “jumlah konflik di wilayah NTT dan Flores Lembata khusus izin
pertambangan minerba yang masih berstatus Izin Eksplorasi berjumlah 313 ijin. Dari data ini maka,sebenarnya masyarakat adat
saat ini hidup dalam cengkraman
penindasan dan pemiskinan, yang secara perlahan akan menghancurkan sendi
kehidupan keberlanjutan masyarakat adat”.Kata daud
Menurut Daud
bukan Cuma konflik izin pertambangan akan tetapi kabupaten Ende yang sangat krusial adalah
konflik kawasan hutan adat yang saat ini masih berstatus pada kekuasaan negara
sehingga kawasan hutan yang di jadikan
naman nasional seluas 5538.36 ha, cagar alam seluas 1958.24 ha, Hutan produksi
konversi seluas 1186.029 ha, kawasan hutan Produksi 36556.701 ha, kawasan hutan
produksi terbatas seluas 61506.603 ha,dan kawasan Hutan lindung seluas
24193.338 ha. Padahal, dikatakanya bahwa keputusan MK nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan hutan adat bukan lagi hutan negara
dan peraturan menteri lingkungan hidup dan kehutanan republik Indonesia Nomor : P.32/Menlhk-Setjen/2015 yang mengatur tentang Hutan Hak, sudah jelas
menunjukan Pemerintah daerah melaksanakan semua keputusan itu sehingga konflik
antara negera dan masyarakat adat tidak akan terjadi lagi.
Wilayah NTT adalah wilayah yang pola
pembangunan lebih berorientasi pada sektor pariwisata, Pertanian, perikanan dan
Pekebunan dengan pengelolaannya lebih ramah pada lingkungan.
“Indonesia,
di awal kemerdekaannya, adalah Negara yang maju dari sisi pengakuan Masyarakat
adat dan hak-haknya. Hal itu di amantkan dalam Pasal 18 b UUD 1945. Bahwa Negara
“mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat” yang harus
diatur lebih lanjut dengan Perundang-Undangan, Bahkan amandemen kedua Pasal 28
I ayat (3) UUD 1945 pada tahun 2001 menempatkan hak Masyarakat adat sebagai hak
azasi manusia. Kata Yulius F Mari dalam Orasi politik di depan kantor bupati
Ende
Lebih jauh
di jelaskannya bahwa sampai hari ini, hanya tinggal 5 hari lagi kita merayakan
70 tahun Indonesia merdeka, UU yang diamanatkan dalam konstitusi tersebut belum
juga ada. Salah satu dari hak Masyarakat adat itu yaitu Undang-undang PPHMA,
Negara Indonesia telah mewariskan produk perundang-undangan yang berdampak pada
penindasan terhadap masyarakat adat mulai dari UU Perambangan minerba, UU
Agraria, UU kehutanan dan peraturan perundang-undangan lainnya yang pasal-pasal
mengandung unsur konflik pemerintah di satu sisi dan pemerintah di sisi yang
lain. Banyak sekali masalah yang kemudian dialami oleh Masyarakat adat sebagai
akibat dari 70 tahun masa pengabaian atas hak-hak konstitusional: pemiskinan,
pembunuhan, konflik, kriminalisasi, kemusnahan bahasa, krisis identitas yang
terus meluas dan kualitas lingkungan hidup yang terus menurun yang berdampak
pada semakin memburuknya kesehatan Masyarakat adat di seluruh pelosok
Nusantara.
Aksi masa
masyarakat adat mendatangi kantor bupati Ende untuk menyerahkan pernyataan
sikap AMAN nusa bunga terkait dengan tuntutan yang telah di sepakati bersama.
Dari kantor bupati Ende kemudian masa aksi melanjutkan ke kantor DPRD Ende
untuk berdialog bersama.
Dalam dialog
yang di pimpin oleh Ketua DPRD Ende kemudia mendapatkan kesepakatan bersama
untuk mendukung proses percapatan Perda PPHMA di kabupaten Ende. Selain itu,
masa aksi mendesak DPRD Ende untuk segera menyurati DPR RI agar secapatnya
membahasan dan mengesahkan RUU PPHMA yang saat ini berada di Prolegnas.
“ Kami
Mendukung atas perjuangan Masyarakat adat yang saat ini terus membicarakan
tentang keberadaan masyarakat adat di kabupaten Ende, Masyarakat adat di
kabupaten Ende merupakan salah satu pilar dalam membangun kabupaten Ende. Dan
kami di lembaga DPRD Ende siap mengakomodir pernyataan sikap masa aksi dengan
berbagai tujuan, dan kami berharap kerja sama antara DPRD dan AMAN Nusa bunga
untuk melakukan penyuksesan produk hukum masyarakat adat,” Ungkap ketua DPRD
Ende.
Dari dialog
bersama ini, mendapatkan banyak dukungan dari Fraksi Golkar, Fraksi Nasdem,
fraksi Demokrat, fraksi Hanura, dan fraksi gerindra. Adapun pernyataa dari
fraksi ini, masa aksi akan melakukan pengawasan sampai pada pembahasan perda
PPHMA.
“ Kami hanya
mau tanya di dewan Perwakikan rakyat daerah Ende, bagaimana dengan proses
pengawasan pelaksanaan keputusan MK nomor : 35/PUU-X/2012, yang menyatakan
bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, namun saat ini belum di tindaklanjuti
oleh pemerintah daerah,” pertanyaan Bapak Frans
mosalaki dari komunitas adat Watu Mite.
Respon DPRD
Ende akan menindak lanjuti terkait usulan dan pentanyaan dari anggota
masyarakat adat, sebab saat ini harus di atur dan di dorong untuk bisa melaksanakan
keputusan MK tersebut.
Selain itu
masa aksi masyarakat adat menyerahkan pernyataan sikap secara tertulis untuk
DPRD Ende untuk di tindaklanjuti.
Oleh : Jhuan
Mari
0 komentar:
Posting Komentar