Ada sebuah cerita
menarik dari komunitas adat yang ada di kabupaten Ende salah satu contoh adalah komunitas adat Saga.
Sesuai warisan leluhur dan kearifan komunitas adat Saga yang
telah lama dan sampai hari ini , komunitas adat Saga tidak kenal dengan istilah
bakar hutan karena hutan adalah bagian dari kehidupan keseharian masyarakat adat yang
hidup berkembang sesuai dengan warisannya sehingga hutan sudah menjadi sahabat
buat komunitas adat saga.
Menurut Philipus kami
salah satu anggota komunitas adat Saga mengatakan
bahwa Komunitas adat Saga hanya mengenal
dengan istilah buka kebun/ladang, kerena dengan membuka kebun/ladang tentu
harus sesuai dengan hukum adat yang mengatur tentang tatacara membuka ladang
baru. Biasanya masyarakat adat memulai kegiatan buka kebun/ladang didahului
dengan sermoniat adat untuk membuka kebun/ladang, misalnya yang pertama
dilakukan adalah sermonial adat yang pembukaan lahan baru yang akan di jadikan
kebun/ ladang dilanjutkan sermonial tolak bala, sermonial pembakaran gulma atau
rerumputan.
Dikatakannya bahwa Sermonial
ini dilakukan agar masyarakan adat tidak sembarang membakar gulma atau rumput,
kayu yang merambat di ladang orang dan hutan yang dilindungi untuk kepentingan
umum dan lain sebaginya. Selanjutnya untuk mengingatkan kepada seluruh anggota
komunitas adat yang membuka lahan pertanian untuk tidak sewenang wenang
membakar gulma,kayu yang bertentangan dengan kearifan hukum adat tentang tata
cara membuka ladang baru. Jadi istilah bakar hutan sangatlah tidak dikenal pada
kearifan masyarakan adat. Disampaikannya
dirumah AMAN nusa bunga pada (30/10/2015 )
Dari seluruh siklus
berladang masyarakat adat selalu diawali dengan seremonial adat sebagai bagian
dari kearifan,dan sangatlah tidak masuk akal masyarakat adat yang mempunyai
tanah ulayat, hutan adat yang di jaga secara turun temurun kemudian melakukan
pembakaran hutan. Di dalam masyarakat adat itu sendiri adalah bentuk kerja
berladang membuka kebun ladang baru selalu mempertimbangkan efek lingkungan,
selalu mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan yang bersih, sebab itu telah
di atur dalam hukum adat. Jika hal itu tidak di pertimbangkan maka dengan
sendirinya masyarakat adat menghilangkan seremonialnya dan menghilangkan
warisannya, tentu hal itu masyarakat adat tidak mau. Dengan demikian sesuai dengan cerita diatas
sangatlah pas bahwa masyarakat adat tidak mengenal dengan istilah pembakaran
hutan.
Terkait situasi
kebakaran hutan saat ini yang di isukan oleh berbagai pihak bahwa masyarakat
adat yang membakar hutan dan sebenarnya isu tersebut adalah salah dan tidak benar, karena masyarakat adat itu mempunyai paham sendiri sesuai kearifan
tentang pengelolaan hutan dan paham tentang membuka lahan yang akan menjadi
ladang baru seperti yang diuraikan diatas oleh masyaraka adat Saga.
Berbagai kalangan
menilai bahwa masyarakat adat itu yang membawa dampak kebakaran hutan dan jika
di telusuri lagi tentang defenisi masyarakat adat itu sendiri bahwa masyarakat
adat adalah “komunitas-komunitas
yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun di atas suatu
wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah, dan kekayaan alam, kehidupan
sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelolah
keberlangsungan kehidupan masyarakatnya”.
Arti dari defenisi di
atas bahwa sesunggunya masyarakat ada hubungannya dengan sumber daya alam
adalah bagian dari kehidupannya. Sejak dahulu hingga sekarang masyarakat adat
dengan kearifannya mampu menjaga hutan, sebab setiap siklus untuk membuka
kebun/ ladang baru untuk pertanian selalu didahulukan dengan seremonial adat. Dalam
masyarakat adat itu sendiri sama sekali tidak mengenal dengan pembakaran hutan,
jadi istilah pembakaran hutan ini sebenarnya sangat bertentangan dengan hukum
adat di masing-masing komunitas adat.
JFM. AMAN Nusa Bunga
0 komentar:
Posting Komentar